(27 Januari 2913). Pagi ini aku menerima sebuah pesan dalam
telepon genggamku dari seorang sahabat, “Saudaraku, beri nasihat untukku hari
ini …” Aku sempat tertegun membacanya, sambil menghela nafas kata-kata itu
seperti menembus relung terdalam bathinku yang sedang berteriak keras, bahwa
sejujurnya disaat ini akulah yang seharusnya lebih banyak mengirimkan pesan
semacam itu kepada semua sahabat, saudaraku dimana saja.
Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan
menerima nasihat, dan lebih aneh lagi jika ternyata ada orang yang gemar
berkata-kata tanpa banyak menggunakan telinganya untuk mendengarkan orang lain.
Dilihat dari struktur indera yang kita miliki, seharusnya setiap manusia sadar
bahwa keberadaan dua telinga yang ditempatkan Allah di kanan dan kiri manusia
agar dapat menangkap setiap pesan dan masukan lebih banyak. Bukan sebaliknya,
menutup telinga rapat-rapat sementara membuka mulut dengan lebar sambil
mengeluarkan banyak kata. Fitrah dan kodratnya demikian.
Allah ciptakan mulut dengan dua katup bibir yang
bisa bergerak menutup dan membuka agar manusia bisa mengerti kapan waktunya
diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir itu pula yang seharusnya mengontrol
gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut. Sudah jelas, jika bibir tidak
terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga tak ada kata-kata yang
keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan cuping yang lebar tanpa
kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu saja, karena Allah
menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk mendengar,
filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah setiap pesan
yang masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau tidak.
Paul Madaule, Direktur The Listening Centre di
Toronto dalam bukunya Earobics, mengatakan bahwa otak bekerja lebih cepat
daripada lidah, dimana otak menerima masukan lebih banyak dari mendengar dan
melihat (dua telinga dan dua mata). Ini menyadarkan kita, bahwa kecil
kemungkinan orang belajar dari kata-katanya sendiri. Lagi pula biasanya lidah
akan bekerja jika otak sudah menerima input dari indera yang lain. Tentu saja,
jika ada orang yang berbicara tanpa bekal masukan dari otak (sebelumnya dari
telinga dan mata), kita fahami bahwa apa yang keluar darinya tidak lebih dari
sekedar bualan belaka, nyaris tanpa makna.
Di halaman lain buku tersebut, Paul malah menegaskan
bahwa dengan mengefektifkan pendengaran, seseorang bisa mendapatkan energi
baru, arah dan fokus untuk membantunya menemukan motivasi kuat dalam langkah-langkah
selanjutnya. Sekali lagi kita mendapatkan pelajaran, bahwa jika mau disadari
pada saat kita berbicara yang kita harapkan adalah orang lain memusatkan
perhatiannya sehingga menemukan energi baru dari kata-kata yang kita keluarkan.
Lalu kenapa tidak kita yang melakukan proses mendengar itu?
Oleh karenanya, kepada sahabat yang pagi ini
mengirimkan SMS untuk meminta nasihat kepadaku, terus terang aku meminta,
berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa sebenarnya saat ini aku yang jauh
lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan suntikan energi, arah dan
motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah yang berbunyi dalam Surah
Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling menasihati. Artinya, jika anda
sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara anda selama ini, adillah
kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu saja, ini bukan sekedar
latihan bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci. Wallahu a’lam
bishshowaab (Bayu Gautama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar